Bermula
dari kisah Fathimah binti Walid. Seorang shahabiyah yang dikenal saling
memahami antar sesame saudara. Istri al-Harits bin Hisyam, yang sering ikut
pergi ke syam. Beliau adalah adik dari panglima perang tersohor pada zamannya,
yakni Khalid bin Walid. Alkisah Fathimah menjadi salah satu penyumbang ide
strategi perang kepada saudaranya, Khalid.
Pernah
suatu ketika saat Umar bin Khaththab memberhentikan Khalid dari jabatannya
sebagai seorang panglima, Khalid mendatangi saudarinya untuk meminta pendapat.
Setelah mendengar pendapat adiknya, Khalid mencium keningnya seraya
berkata,”Benar apa yang kamu katakana, sesungguhnya Umar lebih tahu urusan yang
dihadapinya ( daripada saya) dan dia (Umar) tidak akan membohongi dirinya
sendiri.
Itulah
Fathimah, sosok saudari teladan yang paham akan sebuah persaudaraan, saling
menasehati dan bertukar pikiran antara yang satu dan yang lain.
Begitu
pula refleksi sosok fathimah terhadap sifat dan karakter ku yang lebih dekat
dengan adik – adik di rumah maupun di wisma. Ketika ada di rumah sedang ada
suatu masalah pribadi dari salah satu adik yang terkadang sulit untuk bicara
dengan ummi atau abi, biasanya mereka datang dan meminta pendapat yang mereka
anggap baik dan mudah untuk dijalani.
Sama
juga seperti kisah Asma’ binti abi bakr ketika anaknya Abdullah bin zubair
meminta pendapat kepadanya tentang perang melawan hajjaj. Beliau menisyaratkan
kepada Abdullah untuk terus berperang melawan kafir quraisy daripada izzah umat
islam terinjak – injak saat Abdullah menyerahkan dirinya kepada hajjaj dengan
mudahnya.
Deskripsi
diri yang selanjutnya bisa diambil dari shahabiyah Qatilah binti Nadhr. Seorang
penyair dari abu dar yang suka menulis dan menyenandungkan syair. Seperti aku yang kadang inspirasi menulis itu
suka datang tak menentu. Jadi harus siap block note dan pulpen setiap saat.
Shahabiyah
terakhir yang kira – kira mendekati criteria adalah Saudah binti Zam’ah.
Shahabiyah yang dipilih Rasul untuk dinikahi karena kadar keimanannya yan
tinggi. Berperawakan tinggi besar, tidak terlalu cantik juga tidak kaya. Ia
dapat memimpin di rumah ayahnya yang kafir. Saudah memiliki kelembutan dan
kesabaran hati yang dapat menghibur hati Rasulullah saw sekaligus memberikan
suntikan semangat bagi dakwah beliau. Akan tetapi beliau tidak bisa mengisi
kekosongan hati Rasul saw, dengan itu Allah swt memerintahkan untuk menikahi
Aisyah yang belia. Saudah pun rela dan tidak merasa cemburu ketika aisyah
berada di tengah – tengah rumah tangganya.
Begitu
pula dengan ku. Berusaha menerima apa yang Allah swt takdirkan jika memang
undip dan semarang menjadi hadiah terindah bagi berjalannya waktu setelah
sarjana nanti, berharap seperti kisah Ramlah binti Abi Sufyan yang bisa menikah
di negeri rantau karena ummi juga tidak membolehkan ku untuk kembali ke
tangerang. Udah kebanyakan kader katanya. J
sekian
0 komentar:
Posting Komentar