Jumat, 08 Juni 2012

refleksi shahabiyah terhadap diri


Bermula dari kisah Fathimah binti Walid. Seorang shahabiyah yang dikenal saling memahami antar sesame saudara. Istri al-Harits bin Hisyam, yang sering ikut pergi ke syam. Beliau adalah adik dari panglima perang tersohor pada zamannya, yakni Khalid bin Walid. Alkisah Fathimah menjadi salah satu penyumbang ide strategi perang kepada saudaranya, Khalid.
Pernah suatu ketika saat Umar bin Khaththab memberhentikan Khalid dari jabatannya sebagai seorang panglima, Khalid mendatangi saudarinya untuk meminta pendapat. Setelah mendengar pendapat adiknya, Khalid mencium keningnya seraya berkata,”Benar apa yang kamu katakana, sesungguhnya Umar lebih tahu urusan yang dihadapinya ( daripada saya) dan dia (Umar) tidak akan membohongi dirinya sendiri.
Itulah Fathimah, sosok saudari teladan yang paham akan sebuah persaudaraan, saling menasehati dan bertukar pikiran antara yang satu dan yang lain.
Begitu pula refleksi sosok fathimah terhadap sifat dan karakter ku yang lebih dekat dengan adik – adik di rumah maupun di wisma. Ketika ada di rumah sedang ada suatu masalah pribadi dari salah satu adik yang terkadang sulit untuk bicara dengan ummi atau abi, biasanya mereka datang dan meminta pendapat yang mereka anggap baik dan mudah untuk dijalani.
Sama juga seperti kisah Asma’ binti abi bakr ketika anaknya Abdullah bin zubair meminta pendapat kepadanya tentang perang melawan hajjaj. Beliau menisyaratkan kepada Abdullah untuk terus berperang melawan kafir quraisy daripada izzah umat islam terinjak – injak saat Abdullah menyerahkan dirinya kepada hajjaj dengan mudahnya.
Deskripsi diri yang selanjutnya bisa diambil dari shahabiyah Qatilah binti Nadhr. Seorang penyair dari abu dar yang suka menulis dan menyenandungkan syair.  Seperti aku yang kadang inspirasi menulis itu suka datang tak menentu. Jadi harus siap block note dan pulpen setiap saat.
Shahabiyah terakhir yang kira – kira mendekati criteria adalah Saudah binti Zam’ah. Shahabiyah yang dipilih Rasul untuk dinikahi karena kadar keimanannya yan tinggi. Berperawakan tinggi besar, tidak terlalu cantik juga tidak kaya. Ia dapat memimpin di rumah ayahnya yang kafir. Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran hati yang dapat menghibur hati Rasulullah saw sekaligus memberikan suntikan semangat bagi dakwah beliau. Akan tetapi beliau tidak bisa mengisi kekosongan hati Rasul saw, dengan itu Allah swt memerintahkan untuk menikahi Aisyah yang belia. Saudah pun rela dan tidak merasa cemburu ketika aisyah berada di tengah – tengah rumah tangganya.
Begitu pula dengan ku. Berusaha menerima apa yang Allah swt takdirkan jika memang undip dan semarang menjadi hadiah terindah bagi berjalannya waktu setelah sarjana nanti, berharap seperti kisah Ramlah binti Abi Sufyan yang bisa menikah di negeri rantau karena ummi juga tidak membolehkan ku untuk kembali ke tangerang. Udah kebanyakan kader katanya. J
sekian




0 komentar:

Posting Komentar