Sore ini, di hari kedua lebaran aku kedatangan keluarga
pakde –kakak ayah- dari Jember,Jawa Timur. Aneh ya, orang2 pulang kampung beliau
pulang kota untuk menghabiskan waktu
lebaran di Jakarta. Tapi bukan itu yang ingin aku ceritatakan sekarang. Disela
pertemuan yang penuh canda tawa pakde bercerita tentang bagaimana ia bisa besar
seperti sekarang.
Sampai anaknya pun sulit untuk menjawab saat ditanya
kawan2nya
‘Apa pekerjaan ayahmu ?'
Dia kadang menjawab “ aku tidak tahu. Yang kutahu
ayah duduk.bicara,tanda tangan dan dapat uang banyak."
Hehehe terdengar asik ya.
Tapi pakde bilang anak2 tahunya ayah terima uang. Mereka tidak tahu bagaimana
ayah bisa menjadi penerima uang semudah itu. Anak2 tidak mengerti bagaiman
ayahnya punya masa indah yang patut diceritakan pada mereka.
Ini awal kisahnya. Dulu, saat pakde ikut wamil – wajib militer-
bersama para camat2 dan gubernur yang lain, pakde tidak digaji. Tapi pakde
butuh uang untuk tetap bertahan hidup. Pakde berpikir keras, di kepala pakde
hanya ada keinginan untuk dapat uang banyak. Pakde memutar otak bagaimana
caranya pakde bisa dapat uang ditengah2 kewajiban pakde ikut pendidikan militer
sekarang. akhirnya pakde ajak kawan pakde untuk berjualan jamu dan nasi goreng.
Jamu yang saat itu seharga 3.000 pakde jual rp10.000 nasi goreng yang pada
tahun 1996 rp 1250 pakde jual 5ribu rupiah. Dan pada saat itu posisinya pakde
tidak punya competitor dan semua orang di asrama butuh apa yang pakde jual. Bayangkan,
dalam satu malam pakde dapat mengantongi keuntungan bersih rp150.000 yang pada
tahun itu bisa seharga 1,5jt di tahun sekarang. coba dikali 30 hari. Mantap bukan
? tapi pakde butuh perjuangan yang mantap juga untuk bisa mengantongi uang
sebanyak itu di tempat yang tidak kalah menyeramkan, ditengah2 orang2 militer
yang terkenal sangarnya nauzubillah.
Ya tapi itu kehidupan, tutup pakde diakhir ceritanya. Kalau pakde
masih berdiam diri dan tidak berani mengambil keputusan2 GILA pakde, mungkin pakde
akan terus2an hidup miskin di asrama militer. Bude dan anak pertama pakde tidak
kedapatan uang bulanan. Tanpa keberanian, pakde tidak bisa jadi camat di usia
pakde yang teramat muda, 30 tahun, ya mungkin seusia suamiku sekarang. dan 31
tahun menjadi ka.bag –maaf kalau ini aku tidak mengerti, yang pasti ini jabatan
hebat di pemerintahan-
Aku suka cerita ini. Ayah mu pun dulu begitu. Ayah mu dengan
ceritanya yang tidak kalah jauh memilukan. Tapi pakde tidak ingin anak pakde
merasakan hal2 yang dulu pakde rasakan. Ayahmu juga tidak ingin kamu merasakan
apa yang dulu ayahmu rasakan. Cerita dahulu hanya memang hanya tinggal cerita. Sekarang
pakde sudah bisa pergi kemana saja pakde inginkan, ayahmu juga sudah bisa
membeli apa yang ayahmu inginkan. Tapi ingat anak2ku, semua butuh perjuangan,
tidak harus lama, tapi semua butuh proses dan proses tetap harus kalian lalui
dengan penuh keberanian dan kemantapan hati terhadap Sang Maha Pemberi.
Begitu sahabat, cerita tentang pakde dan sedikit tentang
ayahku. Moga kelak ketika kita memiliki anak cucu, kita tidak hanya
menceritakan masa kejayaan kita dahulu. Tapi mereka –anak cucu kita- hanya kita
sisakan kerikilnya. Namun kita berharap sebaliknya, mereka hanya merasakan
pilunya kisah ayah ibu mereka lewat cerita. Tidak lagi mereka rasakan, semoga.
Salam cinta,
Nay Raihana
0 komentar:
Posting Komentar